Earth Hour kali ini saya lalui seorang diri di rumah. Kebetulan istri dan anak mudik untuk jenguk ibu yang sedang sakit. Dan kebetulan pula, saya baru tiba di Jakarta setelah melaksanakan tugas ke Palembang.
Sampai di Bogor sekitar pukul 18.30, bis DAMRI yang saya naiki memasuki kawasan Tugu Kujang. Tidak tampak sesuatu yang spesial menyambut Earth Hour. Malah sebaliknya, jalanan penuh mobil, dan restoran-restoran yang berjejer persis di samping terminal bis Baranangsiang dengan angkuhnya menyalakan lampu yang terlalu terang. Satu buah lampu gantung berisi sekitar 8 buah lampu neon. Saya melihat ada lbih dari 10 lampu gantung di dalam restoran itu. Duh, miris sekali melihatnya. Sedangkan di sisi kota yang lain masyarakat mendapat jatah giliran mati lampu. “Biarlah, itu hak mereka, mereka yang punya uang untuk membayar tagihan listrik”, pikirku dalam hati.
Tapi senyum saya langsung tersungging, ketika persis di dekat pintu masuk Botani Square, saya melihat sekumpulan anak usia remaja denga kaos yang seragam, membentuk formasi lingkaran di dekat sebuah baliho berukuran sedang yang sekilas saya baca bertuliskan EARTH HOUR. Ah, tidak salah lagi, mereka pasti mendukung Earth Hour. Cukuplah saya melihat semangat mereka untuk mendukung kegiatan ini meskipun mereka tenggelam dalam kesibukan kota di malam minggu yang selalu ramai.
Tak mungkin saya turut bergabungdengan mereka. Siapa yang akan mematikan lampu di rumah? Setelah sholat dan makan, langsung tancap gas menuju rumah. Sampai di rumah pukul 19.45, saya sempatkan untuk mandi dan sholat Isya terlebih dulu.
Saya siapka dua buah lilin. Sebelumnya menyempatkan diri facebook-an di ponsel terlebih dulu. Saya temukan status seorang sahabat yang menghitung mundur waktu mulai even ini. Empat menit, dua menit, dan.. Ctak! Saya matikan semua saklar lampu di rumah dan segera menyalakan dua lilin yang tadi saya siapkan ketika jarum menit tepat di angka 6. Hmm, sejenak saya merasakan nuansa hati yang unik. Kenapa unik? Karena yang saya lakukan ini sebenarnya adalah bentuk pembuktian komitmen yang saya janjikan bahwa saya ingin ikut berpartisipasi dalam acara ini. Saya bersyukur, saya bisa memegang komitmen itu.

Loh, kok lampunya dimatiin pak?”, tanya seorang tetangga depan rumah, ketika saya duduk-duduk di teras rumah. “Iya pak, saya sedang ikutan earth hour, matiin lampu sejam”, jawab saya. Sambil lalu, saya berusaha mengajak tetangga saya itu, “Ayo ikutan pak, matiin lampu sampe jam setengah sepuluh saja”. Entah karena gengsi atau cuek, tetangga itu pun hanya menjawab sambil lalu, “Kebetulan lilin saya habis pak”. Weleh…
Selang sepuluh menit kemudian, tetangga samping kiri saya keluar gerbang dan kembali bertanya serupa dengan tetangga depan saya yang tadi, tapi ada tambahan pertanyaan lain. “Kok lampunya mati pak? Tokennya habis ya?” (listrik di rumah saya dengan sistem prabayar, jika token habis otomatis akan mati). “Hehe.. Tidak pak, saya lagi ikutan dukung kegiatan Earth Hour“, jawabku lagi. “Wah, apan tuh pak? Say kok tidak tahu ya?”, tetangga saya terheran-heran. Kembali saya jelaskan persis seperti yang saya jelaskan pada tetangga depan saya.
Jadilah di gang, hanya rumah saya saja yang terlihat gelap. Mungkin gaungnya tidak begitu meluas, atau mereka tidak peduli akan kegiatan semacam ini. Ah, tidak mungkin hal kedua terjadi pada mereka.
Semoga hal ‘kecil’ ini membekas dalam diri saya pribadi. Bahwa sekecil apapun yang bisa kita perbuat untuk menyelamatkan bumi, itu akan sangat berarti. Dibandingkan sama sekali tek peduli akan kondisi bumi kita yang semakin rapuh.
Title : Hadiah Kecil untuk Bumi
Description : Earth Hour kali ini saya lalui seorang diri di rumah. Kebetulan istri dan anak mudik untuk jenguk ibu yang sedang sakit. Dan kebetulan pul...